Selasa, 30 Maret 2010

Rahasia Yang Terbunuh

“Sialan tuh cewe, bikin gue emosi, rasanya pengen gue bunuh aja tuh orang” Tutur elga membabi buta tanpa kutahu jelas siapa yang ia maksud.

“Lo ngomong apaan sih ga? Ngomong tuh jangan sembarangan” aku memperingatkan bahwa perkataannya sudah melewati batas.

“Pokoknya gue benci Ra, sampe kapanpun ngga akan gue maafin tu orang” Tambah Elga.

“Iya, tapi siapa? Masalahnya apa?” Tanyaku sepertinya naluri keingintahuanku mulai datang. Elga terdiam sejenak dan mencoba menenangkan diri sebelum ia mulai menjelaskan semua, “Bokap gue Ra, Bokap gue punya istri simpenan” Ia mencoba untuk meringkas cerita yang sebenarnya aku yakin masalahnya tidak semudah itu.

“Masa sih bokap lo gitu ga? Tau dari mana lo? Positif Thinking aja deh” terangku berusaha memberi masukan.

“Gue baca surat yang ngga sengaja jatuh dari Map yang di bawa bokap gue, dari isi surat yang gue baca, gue yakin itu dari seorang cewe. Cewe itu minta bokap gue buat dateng ke tempatnya.” Ia lalu terdiam dan berusaha duduk disebelahku dengan tatapan kosong dan tubuh terlihat lemas seperti tak bernyawa.

“Sabar ya ga, gue yakin ini cobaan buat keluarga lo. Lo harus kuat buat nyokap dan ade lo” Aku berusaha untuk menenangkannya namun Ia hanya terdiam mendengar ucapanku, aku bahkan tidak tahu apalagi yang harus kuperbuat, aku hanya berfikir jika aku berada di posisi Elga apa aku masih sanggup menghadapi semua. Akhirnya Aku dan Elga memutuskan berdiam diri tanpa ada sepatah katapun terucap. Aku mengerti mengapa Ia begitu, aku tidak ingin memaksa Ia bercerita banyak tentang keluarganya, jadi aku berusaha untuk tinggal bersamanya, menemaninya walaupun tanpa ada percakapan berarti diantara kita.

* * *

Malam itu memang malam terakhirku bertemu Elga, sahabat terbaikku yang kumiliki. Aku telah mengenalnya semenjak aku duduk di bangku SMA hingga sat ini aku dan Elga kuliah di Universitas yang sama menginjak semester akhir. Ia sosok wanita yang pintar, cuek dan tomboy bahkan Ia berani mengatakan apapun yang Ia suka dan yang tidak Ia suka, inilah hal yang paling aku kagumi darinya karena terkadang Ia memberikan masukan untukku.

Tapi sudah satu minggu belakangan ini aku tidak mengetahui keberadaannya, baru kali ini aku sangat mengkhawatirkannya, aku tidak ingin terjadi sesuatu apapun terhadapnya. HPnya tidak dapat aku hubungi, aku berusaha mengunjungi rumahnya tapi kosong tak berpenghuni. Aku bingung, aku selalu berharap Ia secepatnya menghubungiku.

Aku tetap menunggu sahabat terbaikku mengabari tentang keadaannya karena sebenarnya aku tidak ingin sahabatku menelantarkan kuliahnya. Hingga tiga minggu berlalu, saat ini matahari mulai merayap turun di ufuk barat, keindahan senja mewarnai pelataran rumahku, aku sedang membaca Novel tiba-tiba Elga datang dengan muka penuh kesedihan serta beban yang Ia pikul sendirian selama ini. Aku langsung berlari menghampirinya dan memeluknya, tanpa kusadari pertanyaan-pertanyaan keluar dari mulutku “Ga, lo baik-baik aja kan? Lo dari mana aja sih? Muka Lo pucet tau, Lo kenapa?” Namun Elga hanya terdiam tak menghiraukan pertanyaanku, lalu Ia berjalan dan duduk dipelataran rumahku, “Tar, boleh ngga malem ini gue nginep di rumah lo?” Pintanya padaku.

“Tentu saja, bahkan ngga cuma malem ini juga ngga apa-apa. Gue seneng ko” Ucapku tanpa berfikir lama. Elga tersenyum mendengar ucapanku.

“Thank’s ya Tar”

“Ya udah sekarang masuk yuk, lo mandi dulu, pake aja baju gue dulu biar lo keliatan ngga kumel dan bau” Tuturku sambil tertawa mengejek Elga yang memang menurutku Ia terlihat seperti orang yang belum mandi beberapa hari. Elga hanya tersenyum mendengar perkataanku lalu Ia masuk mengikutiku.

* * *

“Lo kemana aja sih ga?” Aku memulai pembicaraan malam ini, tapi anehnya Elga tidak seperti Elga yang aku kenal, Ia lebih banyak terdiam dan melamun.

“Ya udah kalo lo ngga mau cerita sama gue ngga apa-apa ko gue ngerti, mungkin lo masih cape ya? Tidur gih biar besok lo enakan dan bisa cerita” Pintaku padanya seolah putus asa tanpa ada penjelasan apapun darinya, Elga masih tetap saja diam dengan kesendiriannya hingga akhirnya aku memutuskan merebahkan tubuhku dan bersiap-siap untuk tidur, disaat itu Elga malah memulai pembicaraannya “Selama ini gue pergi bawa nyokap dan ade gue kerumah nenek gue di Desa, gue ngga mau nyokap tau masalah bokap gue, walaupun nyokap gue selalu protes waktu gue bawa ke Desa tapi gue ngga punya pilihan lain Tar, gue ngga mau nyokap sakit, gue ngga mau ujian ade gue berantakan gara-gara kelakuan bokap gue” Elga berusaha menjelaskan semuanya padaku, aku mulai membenahi letak tubuhku hingga aku kembali duduk disamping Elga.

“Trus kalo lo ninggalin mereka di Desa. Lo selama ini kemana?” Tanyaku sangat ingin tahu.

“Gue nyari bokap gue” Jawabnya singkat dan jelas dengan tatapan tajam penuh amarah kebencian yang mendalam.

“Lo cari kemana?”tanyaku lagi seolah ingin tahu semuanya.

“Tiga minggu gue nyari bokap gue dari satu tempat ke tempat lain, dari satu orang ke orang lain. Tuhan sayang sama gue Ra, gue dikasih petunjuk” Ia masih saja dengan tatapan kosong

“Maksud lo ga?” aku mulai memfokuskan pikiranku pada cerita Elga.

“Waktu gue udah mulai putus asa nyari bokap gue, gue istirahat di Halte yang ngga jauh dari kantor bokap gue. Saat gue beranjak ninggalin Halte gue liat mobil bokap gue datang ke kantor, keliatannya bokap gue abis dari luar kota beberapa minggu ini jadi gue sulit nyari keberadaannya. Bokap gue keluar dari kantornya, tanpa pikir panjang gue ikutin bokap gue pake taksi. Lo tau Ra bokap gue kemana?” Tanyanya padaku.

“Kemana ga? Bokap lo kemana?”

“Bokap gue pulang ke rumah, gue yakin bokap gue bingung rumah kosong, saat itulah gue turun dari taksi menghampiri bokap gue”

“Mau apa Ayah pulang” Tanya Elga dengan penuh amarah.

“Kenapa kamu ini nak? Ibu dan Mira kemana?” Tanya Ayah Elga yang kaget dengan suasana rumah dan perubahan pada anaknya.

“Ayah jangan pura-pura ngga tahu dan ngga ngerti Yah. Aku tuh ngga bodoh, mungkin Ibu dan Mira bisa Ayah bohongi tapi tidak dengan Aku Yah. Aku tahu Ayah selingkuh” Nada Elga meninggi sehingga memacu adrenalin Ayahnya untuk menampar Elga.

Elga merasa kecewa terhadap sikap Ayahnya “Selama 22 tahun aku hidup, Ayah ngga pernah menamparku tapi kali ini Ayah melakukan ini padaku, pasti karena wanita itu Yah? Wanita itu yang membuat Ayah berubah? Iya kan Yah?” Ayah Elga semakin marah mengangkat tangannya untuk kedua kali seolah ingin menampar kembali putri tertuanya, namun Ia dapat mengontrol emosinya.

“Kenapa ngga jadi nampar aku lagi Yah? Kenapa? Ayo tampar Yah jika itu buat Ayah puas nyakitin Aku, Ibu dan Mira” Elga berusaha mendekatkan wajah pada Ayahnya, Ayah Elga terlihat lelaht hanya terdiam dan duduk di bangku tua rumahnya, seolah-olah Ayah Elga menyesali tamparan yang sudah Ia layangkan pada putrinya yang sangat Ia cintai. Elga menitikkan airmata, Ia duduk sedikit menjauh dari ayahnya menutup wajahnya yang penuh dengan airmata dengan kedua tangannya.

* * *

“Lo udah belum Ra? Buruan nanti keburu siang panas tau” Dengan teriak Elga mengharapkan aku agar cepat keluar dari kamar mandi. Hari ini kita berencana untuk berangkat ke Desa, tempat Ibu dan adik Elga berada. Yah sudahlah aku ikut saja, sekalian jalan-jalan dan refreshing. He…. He.

“Iya ga bentar, ne udah selesai ko” jawabku dengan nada terburu-buru.

“Lo lama ya mandi aja” timpal Elga.

“Lo kaya baru kenal gue kemaren aja” aku menjawab lagi, tapi kali ini sambil keluar dari kamar mandi.

“Ngga apa-apa ne gue ikut lo ke Desa ga? Nanti gue malah bikin kacau suasana lagi?” tanyaku khawatir jika keberadaanku disana malah mengacaukan.

“Emang di sana gue mau ngapain? Gue mau nengokin Nyokap dan ade gue aja ko. Terus maksud lo mengacaukan suasana tuh sebelah mana?” Terangnya berusaha menenangkan kekhawatiranku.

“Ya udah deh kalo gitu” Ucapku dengan penuh semangat dan senyum yang tercipta dibibirku.

Sekitar satu jam perjalanan menuju Desa tempat Ibu dan Adik Elga tinggal aku hanya menghabiskan perjalanan dengan membaca novel tanpa ada percakapan diantara Elga dan aku. Aku tidak berusaha membuka pembicaraan karena aku yakin Elga masih berfikir mengenai keluarganya.

Sesampainya di Desa aku disambut dengan pemandangan alam yang sangat indah, bukit-bukit seolah tersenyum dengan kedatanganku, sawah-sawah menyapa dengan gemercik air yang mengalir. Aku tertegun dan terpaku melihat keindahan tempat ini “Subhanallah“ dalam hati kuberucap, selama ini belum pernah aku melihat ciptaan_Mu seindah ini. Saat aku sedang menikmati keindahan alam, aku dikagetkan dengan suara Elga yang meneriakkan aku untuk cepat berjalan menuju rumah neneknya “Tara, buruan nanti aja liat-liat pemandangannya” dengan sigap aku menjawab “Iya ga” Hufh ngga bisa liat orang seneng apa, dengan sedikit kesal aku mengikuti Elga berjalan.

“Masih lama ya ga tempatnya” Tanyaku yang sudah mulai letih.

“Bentar lagi, cerewet amat sih lo” jawab elga berharap aku tidak banyak bertanya.

“Itu tuh, yang cat rumahnya warna hijau muda” terangnya padaku sambil menunjuk rumah yang Ia tuju, tapi tak berapa lama Ia mengatakan dengan semangat tiba-tiba Ia menghentikan langkah kakinya untuk menuju ke rumah itu.

“Kenapa berenti ga? Kan bentar lagi sampe, cape ne” Keluhku pada Elga, tapi Elga hanya terdiam entah apa yang ada di benaknya.

“Ga, ayo jalan!!” Teriakku dengan kesal, sehingga Elga tersadar dari lamunannya.

“Eh iya, balik lagi aja yuk” Pintanya padaku.

“Apa? Lo minta balik lagi? Emang lo pikir gue jalan ngga pake kaki apa? Ngga, pokoknya gue mau ke rumah nenek lo. Lagian ada apa sih? Tiba-tiba lo minta balik lagi.” Tolakku pada Elga.

“Itu ada mobil bokap gue di sana, gue ngga mau ketemu bokap gue Ra” jelasnya padaku.

“Haa… Haa” aku hanya menertawakan Elga.

“Heh lo ko ngetawain gue sih?” dengan heran dan setengah bingung Elga melihatku.

“Eh lo tuh tampang tomboy, tapi nyerah cuma karena ada mobil bokap lo di rumah nenek lo? Cemen amat lo! Lo mau lari dari masalah ga?” ejekku padanya, walaupun tidak dengan hati aku mengatakannya, tapi aku yakin ucapanku memotivasinya untuk tidak lari dari masalah.

Akhirnya dengan sangat terpaksa Elga melanjutkan perjalanan dan kita sampai pada rumah nan asri yang aku rasa rumah ini sangat membawa suasana kedamaian siapapun orang yang mengunjungi rumah ini. Tapi kejadian di luar dugaan Elga tidak dapat mengontrol emosinya langsung menghampiri Ayahnya “Mau apa Ayah kesini? Masih peduli dengan keadaan aku, Ibu dan Mira?” Ucapnya berapi-api. Ayah Elga hanya terdiam, begitupun aku yang menyaksikan keadaan ini, namun ibu Elga yang berusaha menjelaskan “Kamu kenapa Elga? Kenapa sikap kamu tidak sopan terhadap Ayah? Ayah berniat jemput kita pulang” Ibu Elga menuturkan semuanya seolah memang tidak terjadi sesuatu apapun di keluarga mereka, begitupun Mira yang hanya bisa terdiam melihat kejadian itu.

“Ibu, Ibu tuh tau apa sih? Ibu ngga pernah tau kan seberapa bejat Ayah diluar sana, tanpa memperdulikan perasaan kita terutama Ibu” dengan penuh kemarahan Elga menjelaskan pada ibunya, ibunya terdiam sejenak dan mencoba menatap sepasang mata suami tercintanya serta Mira yang terlihat kecewa terhadap Ayahnya.

Akhirnya semua henig tanpa kata, entah apa yang mereka fikirkan dan tiba-tiba saja Ayah Elga memecahkan keheningan ini “Ayah minta maaf jika telah mengecewakan kalian, Ayah tidak tahu harus bagaimana menjelaskan ini pada kalian. Ayah bingung” Keputusasaan memang terpancar dari raut seorang laki-laki yang aku kira umurnya sudah menginjak kepala lima.

“Ayah ceritakan saja semua yang Ayah tahu dan yang Ayah ingin ceritakan dengan kejujuran Ayah, mungkin kita bisa terima” kali ini Mira yang angkat bicara.

“Baiklah Ayah akan ceritakan semuanya” Saat Ayah Elga memulai penjelasannya aku merasa tidak pantas berada di tengah-tengah keluarga yang sedang berusaha mempertahankan keutuhan rumah tangganya, akhirnya aku memutuskan untuk pergi dan pamit pada Elga walaupun Elga setengah menahan kepergianku tapi Ia menghargai keuputusanku untuk kembali pulang. Dengan harapan baik aku meninggalkan mereka.

* * *

Pagi ini sepertinya aku terlambat ke kampus, waktu sudah menunjukkan pukul 09.30 WIB, sedangkan perjalanku menuju kampus sekitar 45 menit. Aku akan terlambat 30 menit ucapku dalam hati. Ah… ini semua karena semalam aku tidak dapat memejamkan mata, aku mulai bisa terlelap setelah aku menjalankan sembahyang subuh. Fikiranku masih menyisakan tanda tanya pada keluarga Elga, tapi sudahlah saat ini hindari dulu masalah Elga dan keluarganya, yang terpenting bagaimana aku bisa sampai kampus secepat mungkin, buku-buku dengan cepat aku masukkan ke dalam tas, tanpa memilih sepatu yang akan ku kenakan, secepat kilat aku mencium tangan Ibu dan pamit, berlari menuju gang depan itu adalah kebiasaanku jika terlambat ke kampus. He… He

Kulihat jam tanganku waktu sudah menunjukkan pukul 10.10 WIB, ada waktu 5 menit untuk mengejar keterlambatanku, aku berlari menuju fakultas untuk melihat Ruang mana yang akan digunakan untuk kuliah hari ini, anehnya di jadwal aku tidak melihat ada ruangan yang tertera, bahkan mata kuliah untuk kelasku pun tidak ada, aku mencoba berkali-kali mengulang membaca jadwal yang terpasang tapi tetap saja tidak ada.

“Woi mau kuliah apa lo?” Tiba-tiba seseorang berbicara di belakangku, tanpa menoleh sedikitpun karena ku masih terfokus pada jadwal.

“Mata kuliah Seminar, duh gue udah telat ne, tapi ko di jadwal ngga ada ya? Bingung gue” aku tetap saja tidak memperdulikan.

“Lo tuh bangun tidur ya? Baca yang jelas dong, itu jadwal baru kali, Mata Kuliah Seminar pindah hari, Besok jam satu. Ha… Ha” Ia menertawakanku, aku sedikit kesal.

Tara, gue tau lo mikirin gue tapi ngga sampe segitunya kali. He..” Ia mulai mengejekku, aku mencoba berbalik dan ternyata Elga dibelakangku, aku sungguh terkejut dia ada di kampus, bukankah dia kemarin sedang ada masalah rumit di keluarganya. Tapi syukurlah Ia sudah mulai ceria seperti dulu hingga masalahnya tidak terlalu larut.

“Ih,,, Rese lo, kenapa lo ngga bilang sih? Lo sama siapa kesini ga?” Tanyaku sedikit kesal.

“Ngapain gue kasih tau, gue sengaja biar lo ke kampus. He… Gue dianterin bokap tadi” Terangnya seolah tidak terjadi apa-apa.

“Serius lo? jadi lo udah baikan ma bokap lo?” dengan penuh kebahagiaan aku bertanya dan Elga hanya menganggukkan kepalanya.

“Udah ko, gue udah maafin bokap gue, gue yang selama ini salah” Ia mulai duduk di kursi panjang di depan fakultas.

“Maksud lo ga?” tanyaku seolah ingin tahu kejadian yang sebenarnya sambil ikut duduk disampingnya.

“Bokap gue emang punya istri lain selain nyokap gue tapi sebenernya nyokap gue itu istri kedua bokap gue” Ucapnya dengan jelas tapi tidak menurutku.

“Jadi maksud lo, nyokap lo itu ngerebut bokap lo dari cewe itu? Nyokap lo tau hal ini ngga sebelumnya ga?” Dengan antusias yang mendalam aku bertanya.

“Iya nyokap dan bokap gue tau hal ini tapi mereka ngerahasiain ini ke gue dan Mira tapi nyokap gue ngga ngerebut bokap gue dari Tante Arlin, cewe itu namanya Tante Arlin, Arlin Pramesti Ginanjar. Tante Arlin mengalami kecelakaan yang menyebabkan kelumpuhan di kedua kakinya. Tante Arlin tidak menginginkan terjadi kelumpuhan pula pada keluarganya terutama putri sulungnya, Ia mengikhlaskan bokap gue untuk mencari pendamping hidup yang dapat membahagiakan bokap gue dan bisa ngerawat putri sulungnya. Bokap gue ngga mau, tapi Tante Arlin memaksa. Bokap gue pindah tugas ke Jakarta, akhirnya dengan berat hati akhirnya bokap gue ninggalin Tante Arlin di Solo. Tante Arlin berharap ada secercah kebahagiaan untuk suami dan putri sulungnya yang sangat Ia cintai.” Elga menghela nafas sejenak seolah fikirannya kembali pada kisah dimana sebuah dilema besar yang dihadapi Ayahnya, “Saat itulah bokap gue ketemu nyokap. Nyokap gue bisa terima bokap gue apa adanya termasuk masa lalunya dan kehadiran Tante Arlin. Putri sulungnya yang baru berumur 1 bulan akhirnya ada yang merawat hingga saat ini berusia 22 tahun.” Penjelasannya terhenti, ada keanehan yang menyelimuti pikiranku.

“Jadi, yang lo maksud putri sulung Tante Arlin tuh siapa? Lo ga?”

“Iya Ra, gue. Adisty Felga Ginanjar. Gue putri sulungnya Tante Arlin dan Mira Adik tiri gue. Sebenernya saat bokap gue ceritain semuanya, gue sempet marah dan kecewa kenapa mereka nyembunyiin hal ini dari gue dan Mira, tapi kata mereka Tante Arlin yang minta semua di rahasiain dari gue. Gue hargai keputusan mereka karena itu semua keinginan Tante Arlin, yang penting sekarang udah jelas. Semuanya udah baik-baik aja.” Tutur Elga dengan penuh harapan semuanya akan baik-baik saja selamanya.

“Terus Tante Arlin sekarang dimana? Masih di Solo ga?” aku mulai mendekatkan diri sedikit ke samping Elga

“Kasih tau ngga ya ma lo? Ha… Ha” Elga masih saja sempat mengajakku untuk bercanda di saat aku memang benar-benar ingin tahu apa yang terjadi. Aku mencibir dan cemberut.

“Besok nyokap asli gue dateng ke Jakarta, gue yang minta ke bokap, biar nyokap gue tinggal satu rumah bareng gue, biar gue bisa ngerawat nyokap gue yang selama ini Ia berjuang dengan kelumpuhannya sendiri. Gue ngga mau nyesel seumur hidup Ra. Di sisa umurnya gue Cuma pengen dia tahu betapa gue sayang dan gue pengen bahagiain nyokap gue semampu yang gue bisa” Ucapnya penuh dengan semangat seolah-olah Ia tidak ingin penyesalan meniduri seluruh perasaannya kelak. Aku melihat kebahagiaan terpancar di raut wajahnya.

“Gue seneng lo bijaksana kaya gini” Tak ada lagi kata-kata yang dapat aku ucapkan untuknya, aku sangat bangga memiliki sahabat seperti dia.

“Gue udah ngga permasalahin lagi masa lalu bokap gue, itu semua gue anggep kenangan yang harus keluarga gue simpen, apapun yang terjadi dulu itu sepenuhnya keputusan bokap gue atas campur tangan Tuhan dan ngga ada yang berhak menghakimi keputusan seseorang termasuk keputusan bokap gue” Elga mengatakan dengan penuh penghayatan, bayangan masa lalunya seperti kembali hadir.

Tapi kita tetap saja kita yang akan menjadikan sesuatu hal itu lelucon jika kita sudah terlampau serius dan mendalam, tanpa menghilangkan esensi dari kata-kata yang diucapkan Elga, aku mencairkan suasana “Emang makan apaan lo tadi pagi ga? Ko bisa sampe segitunya? Da berapa puisi yang lo buat tadi malem? Ha.. Ha.. Ha” Aku mengejeknya sambil berlari meninggalkannya, tampaknya Elga kesal dan mengejarku.

“Sialan lo! jangan lari” teriak Elga sambil berlari ke arahku, tapi sebisa aku berlari tetap saja Elga akan dengan mudah menyusulku, Ia meletakkan tangannya di pundakku dan kita berjalan beriringan, tertawa bersama untuk kebahagiaan. Aku tidak akan pernah bisa menghindar dan menjauh darinya selamanya kita akan selalu bersama, karena kita adalah SAHABAT.

By : Eva Hutri S

2 komentar:

w1r4 mengatakan...

Jadi tertarik untuk mengomentari muatan yg dibawa cerpen ini.
Manakah yang lebih baik ?
Menikah dengan wanita lain atau merawat istri yg lumpuh seperti kasus pak Eko Pratomo Suyatno, Direktur Fortis Asset Management.
Dua-dua nya sama sama dilandasi oleh cinta.

Hu3 mengatakan...

Hmmmm apa y??
Hidup itu memang suatu pilihan tapi menurutku setiap pilihan itu baik, hanya bagaimana Qta menyikapi setiap pilihan yg Qta ambil, positive thinking and Do the best for your life... intinya kan itu?? hehehhe